Sepasang penari berlenggak-lenggok di bawah iringan musik gambang kromong, lengkap dengan pakaian khas Betawi era 1910. Untuk seukuran pramusaji yang mendadak menjadi penari, gerakan mereka cukup lihai. Disusul rombongan pramusaji lainnya yang keluar dengan piring-piring berisi satu jenis makanan di atas kedua telapak tangannya. Kecuali dua pramusaji paling belakang yang bahu membahu menggotong pikulan berisi kompilasi menu. Secara perlahan, dengan diawali sepasang penari yang tetap beratraksi, mereka semua berjalan menuju meja makan berbentuk persegi panjang yang ada di Ruang Diponegoro, Tugu Kunstkring Paleis.
Ragam makanan Betawi seperti nasi uduk, bebek opor, karedok betawi, semur lidah sapi betawi, sate lembut betawi, sayur gambas udang, tempe lombok ijo en taoco, udang goreng kering, sambal ijo teri, acar kuning, krupuk udang, emping, dan tidak lupa es selendang mayang. Di sajikan bergantian di atas meja bagi para tamu.
Cara menikmati hidangan dengan pendekatan sejarah budaya yang mulai jarang ditemukan di era modern seperti ini. Dulu cara penyajian yang dikenal dengan sebutan Rijsttafel itu, populer di kalangan elit kolonial Hindia Belanda pada sekitar tahun 1910.
Para tuan kebun Belanda biasa mengadakan jamuan Rijsttafel untuk menyambut para tamu terhormat di rumahnya. Dengan ragam menu yang disesuaikan. Kadang dalam satu komposisi menu bisa berasal dari satu daerah, bisa juga dari perkombinasian makanan beberapa daerah di Indonesia.
Jamuan mewah ala Rijsttafel biasanya dipimpin seorang kepala pelayan atau maitre d’hotel, yang berada di ujung meja makan untuk menjelaskan soal menu yang dihidangkan. Jumlah pramusaji disesuaikan dengan jumlah makanan, bisa saja 2, 12, 22, 33, bahkan lebih.
Rijsttafel terdiri dari dua pembendaharaan kata yang masing-masing memiliki arti tersendiri. Rijst berasal dari bahasa Prancis kuno yang berarti beras atau nasi. Tafel yang dalam bahasa Belanda berarti meja. Sehingga bisa diartikan Rijsttafel sebagai “meja nasi” atau hidangan yang disajikan di atas meja.
Pada zaman Hindia Belanda, jamuan Rijsttafel yang terkenal dan juga bergengsi ada di jam makan siang (luncheon) tiap hari Minggu di Hotel des Indes Batavia dan Hotel Savoy Homann Bandung.
Pasca Kemerdekaan Indonesia, tak sedikit kalangan nasionalis berpendapat Rijsttafel sebagai produk kolonial yang terlalu mewah untuk pribumi. Berangsur-angsur tradisi jamuan Rijsttafel ditinggalkan. Hanya sedikit rumah makan yang masih menerapkannya, salah satunya Tugu Kunstkring Paleis yang terletak di Gondangdia Jakarta Pusat, dengan condong lebih ke Rijsttafel Betawi.
Menikmati jamuan Rijsttafel yang dramatis di Tugu Kunstkring Paleis, lengkap dengan dukungan interior ruangan yang bernuansa lampau. Membuat siapapun yang hadir seperti diantarkan mesin waktu menuju hari-hari lalu. Romansa Indonesia tempo dulu kental terasa.
Menyantap Sekeping Sejarah
Sekelompok seniman dan budayawan Hindia Belanda berkumpul untuk membangkitkan gelora seni modern dan dekoratif di Batavia. Kelompok tersebut menamakan diri mereka Nederlansch Indische Kunstkring. Kata Kunstkring sendiri berasal dari bahasa Belanda yang artinya lingkaran seni.
Kelompok Kunstkring sering mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas dan memamerkan seni di gedung Eastern Star Masonic dan Royal Naturalists Society. Mereka juga rajin mengadakan penggalangan dana demi mewujudkan keinginan untuk membangun gedung sendiri.
Setelah melakukan penggodokan konsep dengan P.A.J Moojen sang aristek. Gedung Kunstkring resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda Frederick Idenburg di Van Heutsz Boulevard – ibu kota Batavia (sekarang Menteng), pada 17 April 1914.
Kunstkring merupakan pusat belajar bagi para seniman muda untuk mengasah bakat seninya. Serta menjadi wadah bagi terselenggarannya berbagai pameran yang diisi oleh kalangan muda. Meski awalnya sempat dicibir lantaran hanya memamerkan karya pembelajaran. Kunstkring menjelma dari waktu ke waktu menjadi rumah seni kalangan profesinal.
Berbagai aktivitas yang meliputi Kunstkring antara lain kuliah seni, kelas melukis, perpustakaan seni, pertunjukan musik, serta pameran karya.
Berbagai pameran karya dari pelukis ternama seperti Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, Paul Gauguin, dan Marc Chagall pernah merasakan hangatnya tembok pameran di Kunstkring.
Pada masanya Kunstkring juga menjadi titik temu para insan kreatif di Batavia. Mereka biasa asyik bicara soal seni di cafe Stam en Weynes dengan ditemani wine dan kudapan sambil menikmati pemandangan Menteng yang dikenal sebagai kota taman pertama di Indonesia pada masa itu.
Sayangnya kegiatan seni di Kunstkring harus mandek di tahun 1942. Beralih fungsi menjadi kantor imigrasi di tahun 1950-1993. Sebelum akhirnya terbengkalai dan menjadi korban penjarahan. Hingga pada 2013 mulai di aktifkan kembali menjadi restoran dan galeri seni oleh Tugu Group, dengan nama Tugu Kunstkring Paleis.
Kunstkring dengan wajah barunya, telah kembali pada semangat masa silamnya yakni seni. Serta dengan aura baru berupa cagar budaya dan sejarah yang menjelma menjadi satu dalam wujud restoran mewah.
Memasuki Kunstkring hari ini, khususnya di Ruang Diponegoro yang menjadi ruang utama restoran. Mata akan disuguhkan ornamen interior dari dua kerajaan Jawa Tengah: Mangkunegara dan Pakubuwono. Disentral ruangan terpampang mega lukisan 9X4m berjudul “The Fall of Java” yang mengkisahkan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh penjajah di Residen Magelang pada 29 Maret 1830, karya pelukis Anhar Setjadibrata yang juga seorang pendiri Tugu Group.
Ada satu ruangan khusus yang didedikasikan untuk mantan asisten Residen Lebak Edward Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama lain sebagai Multatuli. Pihak Kunstkring menilai Multatuli berjasa dalam upaya mendesak pemerintahannya sendiri untuk menghapus sistem tanam paksa yang mendera rakyat Indonesia pada masa itu. Perjuangan Multatuli bisa disimak dalam buku legendarisnya berjudul Max Havelaar.
Di lantai dua, terdapat ruang khusus untuk Sukarno. Berisi foto-foto Sang Bapak Bangsa dari masa ke masa, benda-benda pusaka peninggalan, lukisan, dan potongan esai yang dimuat oleh media massa.
Waktu seakan berhenti ketika kaki menjejaki Tugu Kunstkring Paleis. Lalu dibawanya berputar ke waktu lalu dan menjelajah masa. Menyelami sejarah kolonial dan nusantara.[]