Sunrise jadi salah satu band emo lokal yang tetap mempertahankan genre musik emo (Dok. Sunrise)

Anda yang sekolah di jenjang SMP-SMA pada tahun 2004-2010 mungkin masih familiar dengan genre musik emo. Mungkin Anda juga tahu dengan band lokal satu ini yang masih mempertahankan musik emo, Sunrise.

Awal September ini, band yang beranggotakan Adri Dwitomo (vokal/scream), Chandra Erin (gitar/vokal), Putra Pra Ramadhan (drum), Machdis Arie (bass), dan Fabian Azami (gitar) baru saja merilis single terbaru berjudul Break Break, untuk upcoming album mereka yang nuansanya akan sangat emo seperti masa kejayaan emo sekitar 10 tahun lalu.

Bicara soal single ini, Chandra mengatakan bahwa lagu ini menceritakan tentang rasa sakit hati dan kecewa yang berulang-ulang, sampai akhirnya seseorang memutuskan untuk break up.

“Gue rasa sih, banyak banget pasangan yang bisa nge-relate apa yang mereka rasain dengan mendengarkan lagu ini. Musically kami tetap mempertahankan ambience of the real emo era-2007-2010, eranya MySpace lah. So if you live in this era, you’re gonna like this song,” terang salah satu founder band emo asal Jakarta ini.

Dari sekian banyak band lokal di Indonesia, khususnya band-band emo dan sejenisnya, mungkin Sunrise hanyalah satu dari sedikit band yang masih mempertahankan genre musik yang dulu sempat disebarkan oleh Saosin, My Chemical Romance, Finch, atau Dashboard Confessional ini.

Kenapa mereka masih mempertahankan genre musik emo ini?

“Emo itu berasal dari kata emotion. Karena mostly kita itu dengerin musik sebagai sarana untuk meluapkan emosi yang kita pendam. Dan untuk musik-musik jaman sekarang ini gue rasa kurang ‘nendang’ untuk jadi sarana meluapkan emosi. Jadi karena itulah Sunrise mempertahankan genre musik emo,” tambah Chandra.

Tidak hanya lewat lagu, tapi mereka juga mempertahankan stage act of emotion setiap kali tampil gigs ataupun festival musik.

BACA JUGA: Lewat Manifestasi, Measurement hadirkan kembali nuansa musik emo

“Gigs adalah sarana untuk enjoy the vibe of music

Selain mempertahankan genre musik yang mungkin sudah mulai banyak ditinggalkan penggemarnya, baik karena seiring dewasanya usia ataupun karena sudah lebih menyukai genre musik yang lain, Chandra dan kawan-kawan juga tetap mempertahankan untuk tetap datang ke gigs.

“Senang sekali kalau gigs masih dapat menjadi wadah para pecinta musik indie untuk berkumpul, sharing, dan sama-sama enjoy the vibe. Di situlah kita bisa kenalan dengan band-band lain, bisa saling support, dan dari gigs biasanya kita bisa kolaborasi atau tur,” tutur pria berbrewok ini.

“Karena taste musik gigs itu nggak mengutamakan quantity pendengar, kita bisa menemukan band-band dengan musik yang bagus di gigs. Nah gigs sendiri lebih mengutamakan quality dari musik itu sendiri. Jadi musik atau bang yang ada di gigs bisa dibilang unik dan memiliki karakter masing-masing,” tandas Chandra.

Who is Apparat?

Semua Yang Perlu Diketahui Tentang Djakarta Warehouse Project 2017

Homeshake Akan Menyambangi Jakarta Pada Januari 2018!

Gubernur Jakarta Ali Sadikin dan Lukisan Yang Dicoret

Photo Gallery: Magnitude Hammersonic 2017

Photo Gallery: Yellow Claw X Moet & Chandon