Eat & Drink Restaurants
Antara Andrian Ishak dan Segala Tipuan Masakan

By Alfian Putra A.

Published on: 2021/01/24 11:04

Pengaruh Bermusik

RAUT WAJAH Andrian Ishak nampak letih, beberapa jam yang lalu dia mengaku baru saja tiba dari Bandung setelah menghadiri acara Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Hujan turun tiba-tiba sore (08/12/2017) itu di Selatan Jakarta, membasahi daerah Gunawarman. Cuaca berubah menjadi sejuk setelah sebelumnya panas meradang, cocok untuk melewatinya dengan bersantai ria sambil minum teh hangat ataupun memainkan beberapa lagu dengan gitar akustik. Sayangnya, Andrian tidak bisa melakukan semua itu sekarang. Bukan karena dia tidak menyukai teh atau bahkan tidak bisa memainkan gitar. Dia adalah seorang gitaris dari sebuah band, The Circles, meski itu dulu sebelum namanya dikenal luas sebagai chef dengan mazhab gastronomi molekuler, sekaligus pemilik restoran Namaaz Dining.

Di dapur, tak jauh dari tempat kami duduk. Beberapa pegawainya sedang berjibaku mempersiapkan segala menu untuk dihidangkan tepat pukul 19.30 WIB. Pandangan Andrian sesekali menerawang jauh ke dapur, memastikan semuanya baik-baik saja.

Beginilah kehidupannya, sudah tidak melulu soal gitar, amplifier, dan pedal board. Tangannya lebih sering menjamah pisau, wajan, dan cairan nitrogen. Bukan berarti dirinya sama sekali sudah menjauh dari kata bermusik. Musik masih mengambil bagian dari kegiatannya sekarang. Memang tidak berupa homeband, yang semalam suntuk melantunkan jajaran top fourty dan menerima request song. Namaaz tidak menyediakan live music secara reguler sebagai hiburan seperti tempat yang biasa kalian kunjungi. Mereka memposisikan musik pada level yang berbeda.

“Musik bukan pilihan lagi. Tapi sudah gua masukan ke dalam konsep dining,” ujarnya.

Ketika memasuki Namaaz, saya melihat bass gitar dan sound amplifier berukuran kecil. Yang ternyata bukan sekedar pajangan semata. Hampir setiap malam Andrian sendiri yang memainkannya di hadapan para tamu ketika menu es podeng buatannya tersajikan.

Para tamu menikmati es podeng, di saat yang bersamaan dengan Andrian menarikan jemarinya di atas gitar, mengeluarkan ragam harmoni. Lalu es podeng pun perlahan akan meledak-ledak. Sebelumnya para tamu diminta untuk mengenakan jas hujan. Karena di tengah-tengah set, Andrian akan melempar cairan nitrogen bersuhu -196 celsius dan untuk beberapa saat ruangan akan penuh dengan gas putih, lalu kembali seperti semula. Alhasil, para tamu seperti sedang berada di tengah hujan es.

“Ini bukan kayak restoran yang pernah lu makan. Ini subdisiplin yang baru dari restoran,” ujarnya, “tamu gua bawa ke satu dimensi yang berbeda untuk satu menu doang.”

Adapula menu cokelat yang cara menikmatinya harus berbarengan dengan mendengarkan musik. Mulanya para tamu dipinta mengenakan earphone, lalu dua jenis musik berbeda akan diputar berbarengan. Ketika cokelat dinikmati, rasa yang didapat oleh tamu akan berubah-ubah sesuai musik yang sedang diputar.

“Ketika musik high pitch, makanan menjadi lebih manis. Ketika low pitch akan sebaliknya,” terang Andrian pada saya. “Jadi, gua creating experience banget di sini.”

Hal-hal semacam itu mengundang decak kagum para tamu. Bahkan ada juga yang mengibaratkannya seperti sihir, saking terpesonanya. Walaupun sebenarnya, menurut pengakuan Andrian, itu hanyalah ilmu yang sudah ada sejak lama.

“Tapi kita tidak sadar. Apa yang lu dengar itu, ikut mempengaruhi rasa. Kita kira semuanya dari lidah. Sebenarnya hidung dan telinga juga bekerja,” terangnya. “Makanya kalau lagi flu, makan itu nggak enak.”

Andrian memberikan saya satu bungkus makanan ringan dengan rasa sapi panggang. Lalu meminta untuk memakannya sambil menutup hidung dengan tangan.

“Apa yang lu rasakan ?” tanyanya.

Saya bilang padanya, kalau hanya ada rasa asin, manis, dan gurih saja tanpa rasa sapi panggang.

“Memang kerjanya seperti itu. Pada saat kita makan, kita tidak sadar kalau lidah cuma merasakan asam, manis, asin, pahit, dan gurih saja. 80% adanya di hidung,” terangnya. Membuat saya mengingat diagram lidah yang pernah ada di buku pelajaran biologi zaman sekolah dulu.

Dia mengakui sedang mendalami ilmu gastrofisik, hal yang menurutnya berkaitan dengan makanan tapi tidak berkaitan dengan makanan. Ketika dia menjelaskannya, bayang-bayang anak band begitu jauh dari sosoknya, bahkan Andrian terlihat seperti bukan chef. Dia lebih menyerupai ilmuwan yang kebetulan senang bermain di dapur.

Serupa takdir, keputusannya hengkang dari band dan memulai menekuni bisnis masakan berbuah manis. Membuat dirinya beberapa kali menjadi tamu untuk stasiun televisi swasta, menjadi pengisi utama di ajang kuliner bergengsi, dan diwawancarai media massa. Yang tak kalah penting lagi, Andrian telah mengenalkan pada masyarakat Indonesia tentang apa itu teknik gastronomi molekuler.

 

“Kalau band gua jelas, mungkin sekarang gua nggak buka restoran,” ujarnya pada saya, seraya tertawa.

Makanan yang under value, di sini gua naikin. Orang jadi tau 'oh ini rasanya cireng'. Giliran bentuknya begitu, baru pada mau makan
Merubah Masakan Indonesia

Andrian Ishak menunjukan satu video yang ada di feed  Instagramnya. Menampilkan seorang pemuda bernama Budi -salah satu pegawai Namaaz Dining, sedang memutar-mutar badan kue celorot khas Jawa dengan iringan musik "Cublak Cublak Suweng". Perlahan isi kue membubung dan Budi melahapnya begitu saja. Pada detik berikutnya, muncul gambar lipstick, membuat video begitu kontras, pun mengherankan bagi saya. Satu-satunya keterangan (yang sebenarnya tetap saja membingungkan saya) hanyalah tulisan di atas gambar tersebut: same goes with the lipstick. Hah ?

"Lipstick itu celorot sebenarnya. Tampilannya aja yang gua bikin beda," ujarnya. Saya mendelik mengdengarnya dan memperhatikan sekali lagi video tersebut.

Kemudian dia menunjukan hal lain, gambar menu makanan yang dengan mudahnya saya bisa tebak itu adalah churros -makanan asal Spanyol dan Portugal. Tebakan saya patah begitu saja, ketika ternyata itu adalah cireng. Ya, itu kudapan ringan khas Bandung, aCI digoRENG.

"Namaaz fokus ke masakan lokal," tekannya. Oke, baiklah.

Sekitar tahun 2007 silam, Andrian memulai bisnis kuliner pertamanya dengan mendirikan rumah makan Suguhan Magali di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Dia menjual masakan khas Nusantara dengan cara yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan gastronomi molekuler.

"Di sana, gua banyak belajar masak-masakan Indonesia," ujarnya. "Tapi gua mulai mencari lagi, 'apa sih yang bisa bikin gua happy dari masak'. Ternyata ketemunya sama istilah molekuler."

Dikutip dari buku Molecular Cooking at Home (2013) terbitan Quintet Publishing. Josef Youssef selaku penulis menjelaskan, gastronomi molekuler adalah bidang studi yang mempelajari reaksi kimia dan fisika serta transformasi yang terjadi dari bahan pangan selama proses memasak.

Demi menekuni molekuler, Andrian merelakan gitarnya untuk di jual. Agar bisa membeli tabung nitrogen, salah satu peralatan paling penting dari konsep yang hendak dijalaninya tersebut.

Lantai dua Magali pun disulap menjadi dapur eksperimen. "Waktu itu yang pertama gua bikin dengan molekuler itu rambutan. Yang kita tau makan rambutan begitu yah. Gua bikinnya sama, tapi pas dimakan pecah, bijinya nggak ada. Isinya air doang," Andrian menjelaskan.

Setiap kali bereksperimen, para tamu secara suka rela diminta untuk mencicipi hasilnya, untuk mengetahui bagaimana respon mereka.

"Pas gua kasih yang rambutan dan gua bilang ini dibuatnya dengan teknik molekuler. Terus mereka makan, responnya malah 'kurang manis'. Bukan itu yang mau gua dengar. Tapi sensasi pas pecahnya. Ada juga yang bilang 'rasanya nggak seribet namanya'," kenangnya.

Awalnya dengan konsep molekuler, dia berharap bisa membantu finansial Magali yang waktu itu berangsur-angsur surut. Meskipun pada akhirnya, Suguhan Magali harus tutup.

Kenyataan  seperti itu dijadikan modal mendirikan Namaaz Dining pada 2012, restoran yang fokus pada masakan Indonesia sekaligus bermazhab gastronomi molekuler. Visinya masih terselip dalam konsep molekuler, bukan soal menyelamatkan Magali lagi, ada sesuatu yang baru. "Kalau sekarang gua inginnya orang datang (ke Namaaz), jadi lebih apresiasi masakan Indonesia," Itulah visinya bersama molekuler sekarang.

Andrian memang menaruh perhatiannya pada ragam masakan lokal. Dalam satu sesi bicara yang diselenggarakan oleh Tedx di Jakarta pada 2016, Andrian Ishak menjelaskan perspektifnya mengenai posisi masakan lokal dan industri kuliner selama satu dekade terakhir. Menurutnya industri kuliner di Indonesia mengalami kemajuan cukup pesat. Di tandai dengan maraknya event, program televisi, dan sekolah kuliner yang dibangun. Terlebih lagi dengan restoran mancanegara di terima dengan baik di sini. Masyarakat pun sudah lebih mengapresiasi profesi chef. Namun sayangnya, apresiasi terhadap kuliner Nusantara masih terbilang kurang.

"Di restoran saya, tamu lebih tau churros dari pada cireng. Makanya saya bikin seperti ini. Jadi saya selalu bilang ke tamu saya, 'karena restoran kita masakan Indonesia, jadi ini bukan churros tapi cireng. Cireng bumbu rujak," ujar Andrian dalam video, dengan penekanan aksen Inggris ketika mengucapkan kata cireng.

 Sejauh ini, apa yang dikerjakannya berbuah hasil. Para tamu yang tadinya tidak tau sama sekali dengan makanan Indonesia, jadi tau. Lebih penting lagi baginya, para tamu jadi mengapresiasi makanannya juga.

"Makanan yang under value, di sini gua naikin. Orang jadi tau 'oh ini rasanya cireng'. Giliran bentuknya begitu, baru pada mau makan," ujarnya seraya tertawa.

Total sudah ada 136 menu yang masing-masing terbagi dalam delapan season. Mulai dari cireng, celorot, es podeng, rawon, gudeg, sop buntut, rendang, dan kuliner lokal lainnya, tentu dengan bentuk yang tidak sama seperti pada umumnya. Khas Namaaz! Masing-masing season menampilkan 17 menu appetizer hingga dessert dengan biaya Rp. 1, 250,000,-/orang.

Kalau band gua jelas, mungkin sekarang gua nggak buka restoran
Kesulitan Dalam Gastronomi Molekuler

“Yang susah inspirasinya,” ujar Andrian Ishak, ketika memberitahu hal tersulit dalam membuat makanan dengan proses gastronomi molekuler.

Karena baginya untuk membuat makanan terenak itu mudah, mendapatkan bahan-bahan terbaik itu bisa dilakukan dengan berkeliling, menemukan teknik memasak yang baik bisa diperoleh dari berbagai macam sumber referensi seperti internet atau buku sekalipun. Tapi yang tidak bisa ketemu dan menunggu jatuhnya dari langit, ya hal-hal yang abstrak. Untuk bisa membuat suatu makanan yang menarik, sekaligus berseni.

“Gua keliling cari ide, tapi nggak dapat,” akunya, “begitu gua ke depan. Cuma nyebrang doang. Ada tukang kue cubit dan sampingnya ada tukang kue tete. Akhirnya gua bikin kue cubit tete dengan teknik molekuler.”

Di masa awal Namaaz berdiri, Andrian tidak memiliki tim. Mulai dari meracik makanan hingga melayani tamu, semua dilakukannya sendiri. Bahkan ketika kebutuhan untuk mencari ide muncul, Namaaz terpaksa harus tutup untuk waktu yang cukup lama. Akan kembali buka, setelah Andrian menemukan ide baru untuk menu selanjutnya.

“Kalau sekarang gua tinggal brief sambil operasional jalan terus. Gua jadi bisa kemana-mana juga, sambil mungutin ide-ide yang dari langit,” ujarnya terkekeh.

Beberapa waktu yang lalu, dia mengaku baru saja dari Aceh. Hanya sekedar jalan-jalan saja, katanya. Bukan untuk berguru, atau belajar bagaimana caranya membuat mie Aceh yang enak. Tidak. Seperti di awal yang dia katakan, hal semacam itu bisa dipelajarinya dari berbagai sumber.

“Hal kayak gitu, bisa dilihat di internet,” celetuknya. “Di sana gua cuma ngobrol sama anak muda setempat, melihat kesehariannya seperti apa. Itu yang mendatangkan inspirasi.”

Maka dari itu setiap kali memulai suatu perjalan ke daerah, dia tak memilih menginap di hotel. Baginya home stay adalah pilihan yang tepat, dengan begitu bisa lebih dekat dengan penduduk lokal. Sekaligus sebagai ikthiar dari menjemput buah ide yang telah dikaruniakan oleh semesta.

Seperti ketika dirinya pergi ke Surabaya dan memutuskan untuk menikmati sate. Inspirasi itu tiba-tiba muncul. Sekembalinya dari sana, Andrian menuju dapur dan mulai merealisasikan temuannya tersebut. Semua pengalaman yang dirasakannya selama berada di kedai sate, dituangkan di atas piring.

“Dalam satu piring ada semuanya, daging sate di atas arang, abu, dan asapnya. Itu gua tangkap semua dan sajikan di atas piring. Jadi gua bikin arang yang bisa dimakan,” jelasnya.

Bahkan inspirasi kadang datang tidak melulu dari perjalanan ke luar kota. Ketika di Jakarta pun terkadang semua ide bisa diunduh begitu saja. Seperti halnya saat dia menemukan konsep kue cubit tete.

“Entah kenapa tukang kue cubit dan kue tete itu selalu jualan berdekatan. Akhirnya gua jadiin satu. Kue cubit sendiri, nggak ada yang dicubit sebenarnya. Tapi gua bikin kue cubit tete yang cara makannya harus dicubit dulu tetenya,” ujarnya seraya tertawa.

Bagi yang tinggal di Jakarta, atau beberapa kota di Indonesia pada umumnya, kita terbiasa melihat penjual makanan keliling dan lewat depan rumah. Hal yang seperti ini, yang juga memberikan sumbangsih pada Andrian dalam meracik konsep masakannya dengan gastronomi molekuler.

Karena sering melihat penjual kue putu, akhirnya Andrian coba mengadaptasinya di Namaaz. Dia menyajikan satu potong kue putu di atas gelas kaca, lengkap dengan bunyi dan asap selayaknya kue putu pada umumnya.

“Kenapa gua membuatnya, karena itu unik,” jelasnya. “Menariknya adalah orang-orang kita take it for granted, kalau itu unik. Misi gua di sini, supaya mengingatkan lagi. Kalau yang seperti ini tuh cuma ada di Indonesia. Nggak ada di luar negeri.”

Waktu kian petang, hujan di luar pun berangsur-angsur mereda, dan perhatian Andrian semakin sering menjalar ke dapur, di mana para pegawainya masih berjibaku menyiapkan segala menu.

Setiap harinya Namaaz Dining hanya melayani 29 orang. Jangan coba-coba untuk datang mendadak tanpa reservasi di website mereka terlebih dahulu. Kalian akan pulang dengan perut kosong.

Seperti halnya semua menu yang ada di sini, yang bisa menipu dari tampak luarnya. Lokasi Namaaz pun bisa mengecoh kalian. Namaaz ada di Gunawarman, namun bisa saja kalian tidak pernah melihatnya sama sekali. Mereka tidak memasang neon box, billboard, atau petunjuk lainnya. Jadi, kembalilah ke website mereka, jawabannya ada di sana.

Namaaz Dining serupa mitos, pun penuh kejutan. Seperti jargon mereka: apa yang kamu lihat, bukan apa yang kamu dapatkan. []

 

 

Bagikan Artikel
Artikel Terkait

Brunch di Patio Venue and Dining

Melengkapi identitasnya sebagai salah satu hangout spot ternyaman di Panglima Polim, Patio kini hadi...

By: Haetam Attamimy

Baca selengkapnya

Menikmati Suasana Hangout di Cafe Del Mar Bali

Café del Mar di Bali menyajikan pengalaman makan yang berjarak hanya beberapa langkah dari lautan.

By: Gilang Ramadhan

Baca selengkapnya

Pardon My French is Not a Place to Be Sorry

Pardon My French adalah sebuah restoran sensasional terbaru di Jakarta.

By: Haetam Attamimy

Baca selengkapnya
Loading…